Dalam al-Qawa’id al-Arba’, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata :
Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwasanya al-Hanifiyyah adalah millah/ajaran Ibrahim yaitu dengan anda beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya.
Itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada seluruh manusia dan Allah ciptakan mereka untuk mewujudkannya. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah dinamakan sebagai ibadah kecuali jika disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki suatu ibadah ia menjadi rusak. Sebagaimana halnya hadats yang masuk ke dalam thaharah.
Apabila anda telah mengetahui bahwasanya syirik ketika mencampuri ibadah menyebabkan ia menjadi rusak serta menghapuskan amalan dan pelakunya menjadi penghuni kekal di dalam neraka; maka anda bisa mengetahui bahwasanya perkara terpenting ialah dengan mengenali hal itu dengan baik. Mudah-mudahan Allah membebaskan anda dari perangkap ini; yaitu syirik kepada Allah.
Dimana Allah telah berfirman mengenai hal itu (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 116)
(lihat Transkrip Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 15)
Keterangan :
Syaikh rahimahullah menjelaskan kepada kita bahwa hakikat millah Ibrahim adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Untuk itu penting bagi kita mengenali hakikat ibadah dan hakikat ikhlas. Sebab ibadah adalah tujuan penciptaan jin dan manusia, sedangkan ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Inilah tujuan penciptaan jin dan manusia, yaitu agar tunduk beribadah kepada Allah yang di dalamnya terkandung unsur ma’rifah/pengenalan dan mahabbah/kecintaan kepada-Nya, inabah/kembali taubat dan taat kepada-Nya, menghadapkan hati kepada-Nya, dan berpaling dari segala sesembahan selain-Nya (lihat Tafsir as-Sa’di, hal. 813)
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Perintah beribadah kepada Allah yang disebutkan di dalam ayat ini mencakup dua hal; yaitu perintah untuk bertauhid dan perintah untuk taat kepada Allah. Demikian dua tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (lihat Tafsir Ibnul Jauzi, hal. 48)
Allah berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘yang terbaik amalnya’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah, sedangkan benar apabila berada di atas Sunnah/tuntunan nabi (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1331)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (al-Anbiyaa’ : 25)
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap nabi yang diutus oleh Allah memerintahkan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu pun. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36) (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/338)
Di dalam kalimat ‘sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’ terkandung itsbat/penetapan dan nafi/penolakan. Yang dimaksud itsbat adalah menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Dan yang dimaksud nafi adalah menolak sesembahan selain Allah. Kedua hal inilah yang menjadi pokok dan pilar kalimat tauhid laa ilaha illallah. Dalam ‘laa ilaha’ terkandung nafi dan dalam ‘illallah’ terkandung itsbat. Sebagaimana dalam ‘sembahlah Allah‘ terkandung itsbat dan pada kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung nafi (lihat at-Tam-hiid, hal. 14)
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Amal salih adalah amal yang sesuai dengan syari’at Allah, selain itu amal itu juga harus ikhlas dalam artian dikerjakan demi mencari wajah Allah semata. Inilah dua rukun diterimanya amal; yaitu ikhlas karena Allah dan benar yaitu berada di atas syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)
Ibadah itu sendiri merupakan suatu bentuk perendahan diri kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Istilah ibadah juga sering dipakai untuk menyebut berbagai bentuk ibadat seperti sholat, zakat, puasa, dan haji (lihat Ahkam minal Qur’an al-Karim oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 105)
Hakikat ibadah itu adalah ketundukan dan perendahan diri. Apabila disertakan bersamanya kecintaan dan kepatuhan maka jadilah ia ibadah secara syar’i. Dalam tinjauan syari’at, ibadah itu adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dengan dilandasi rasa cinta, harap, dan takut (lihat at-Tam-hiid, cet. Dar al-Minhaj, hal. 22)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… ibadah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan, yang tampak/lahir maupun yang tersembunyi/batin.” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/40)
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah yang disampaikan melalui lisan para rasul.” (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, cet. Mu’assasah Qurthubah, hal. 29)
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan. Seorang hamba disebut sebagai abdi (hamba) karena perendahan diri dan ketundukannya.” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 10)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibadah dalam terminologi syari’at adalah ungkapan mengenai satu kesatuan perbuatan yang memadukan kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/134 cet. Dar Thaibah)
Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah berkata, “Ibadah adalah ketaatan yang disertai perendahan diri, ketundukan, dan kecintaan.” (lihat Tafsir Suratil Fatihah, hal. 18)
Syaikh Sulaiman al-Hamdan rahimahullah menerangkan, bahwasanya ibadah merupakan sebuah kesatuan yang memadukan kesempurnaan cinta dan puncak ketundukan. Cinta tanpa ketundukan bukanlah ibadah. Demikian pula ketundukan tanpa cinta bukan ibadah (ad-Durr an-Nadhidh, hal. 9)
Pilar-pilar ibadah mencakup; ikhlas, cinta, harap, takut, beribadah kepada Allah semata dengan apa-apa yang telah disyari’atkan oleh Allah sebagaimana petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Tafsir wa Bayan li A’zhami Suratin fil Qur’an oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah, hal. 47)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 30)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya, kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5)
Ibadah yang murni untuk Allah inilah yang dimaksud dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Para ulama menafsirkan bahwa makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah ‘supaya mereka mentauhidkan-Ku dalam beribadah’ (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 329)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah satu (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid [1/33])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila bersama dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sholat kecuali apabila bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki ibadah maka ia menjadi batal seperti halnya hadats yang menimpa pada thaharah.” (lihat matan al-Qawa’id al-Arba’ dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 331)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “… Sesungguhnya ibadah tidaklah diterima tanpa tauhid. Hal itu diserupakan dengan thaharah/bersuci untuk mengerjakan sholat. Karena tauhid merupakan syarat diterimanya ibadah; yaitu ibadah harus ikhlas. Adapun thaharah adalah syarat sah sholat. Maka sebagaimana halnya tidak sah sholat tanpa thaharah/bersuci, maka demikian pula tidaklah sah ibadah siapa pun kecuali apabila dia termasuk orang yang bertauhid…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alu Syaikh, hal. 8)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadats merusak thaharah. Maka dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi bahwasanya sholat yang tercampuri dengan hadats maka hal itu membatalkannya, demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik maka itu juga akan merusaknya. Seperti halnya hadats yang mencampuri thaharah maka hal itu membatalkannya. Akan tetapi apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar maka ia membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (az-Zumar : 65). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar maka akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riya’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh al-Barrak, hal. 11)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar, berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut dengan syirik. Syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam hal uluhiyah, adapun syirik dalam hal rububiyah secara umum hal ini tidak ada/tidak terjadi.” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11)
Syirik merupakan keharaman yang paling besar, perkara terlarang yang paling besar, kemungkaran yang paling berat, dan dosa besar yang paling besar. Oleh sebab itu syirik kepada Allah merupakan dosa yang paling membahayakan. Syirik inilah kemaksiatan terbesar yang dilakukan oleh umat manusia/bangsa jin kepada Allah dalam bentuk menujukan ibadah kepada selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah (lihat I’anatul Mustafid, 1/41)
Larangan berbuat syirik ini mencakup syirik akbar dan syirik ashghar. Tidak ada syirik yang bisa ditolerir. Demikian pula larangan berbuat syirik ini bersifat umum meliputi segala bentuk sesembahan selain Allah; apakah ia berupa malaikat, nabi, orang salih, benda mati, pohon, batu, kuburan, dsb. Apa pun selain Allah maka tidak boleh disembah. Dan apa pun bentuk ibadahnya maka tidak boleh ditujukan kepada selain Allah (lihat I’anatul Mustafid, 1/42)
Di dalam kata ‘syirik’ terdapat pelajaran bahwasanya kaum musyrikin juga beribadah kepada Allah. Hanya saja mereka juga menyembah kepada selain Allah, berupa berhala, orang salih, patung, dsb. Oleh sebab itu dakwah ini ditujukan supaya manusia meninggalkan ibadah kepada selain Allah dan mengesakan Allah dalam beribadah. Kaum musyrikin dahulu juga berhaji,bersedekah dan melakukan berbagai ketaatan. Akan tetapi itu semua tidak bermanfaat karena disertai dengan ibadah kepada selain Allah (lihat al-Fawa’id al-‘Ilmiyah min ad-Durus al-Baziyah, 2/127)